Friday 2 December 2016

[Review] Ujung Titik – Album “Tekstular”


Kota malang pernah sebagai barometer music rock di Jawa Timur, bahkan nasional. Mayoritas warga Malang pada dekade 1970-an sangat menggemari music cadas, seperti Deep Purple dan Rolling Stones. Tidak heran, sudah banyak musisi rock kaliber nasional yang berasal dari Malang. Contohnya, Mickey Michael Merkelbach/Mickey Jaguar, Ian Antono, Teddy Sujaya, Fuad Hassan (Drummer pertama Godbless), Silvia Sartje dan masih banyak lagi.

Dari budaya itulah muncul band-band indie yang coba merebut hati masyarakat Malang.
Salah satu band indie Malang yang saya tahu adalah Ujung Titik. Berawal dari penampilan mereka dalam kegiatan amal yang bertajuk "Save hutan kota malabar". Kegiatan yang mengumpulkan para pemerhati lingkungan untuk meneriakkan kritik mereka pada kelompok masyarakat yang ingin mengganti hutan kota malabar menjadi taman kota. Ujung Titik juga ikut berpartisipasi dengan menyumbangkan single "Malabar Denyut Nadi Kita".

Informasi yang saya dapat, band ini akan mengeluarkan album perdananya. Album "Tekstular" kemudian nama yang diambil sebagai debut albumnya. Dari album yang berisi 8 lagu tersebut, saya mendapat bocoran beberapa lagu yang memang menjadi single andalan di album tekstular. Ada lagu 'Berita Sampah', 'Ujung Titik', dan 'Buka Mata Hati'. Memang ada banyak cerita yang diangkat, seperti tentang cinta, sosial, politik dan lingkungan.

Memang kalau ditelisik, band ini sangat kritis dilihat dari lirik-liriknya yang terkesan provokatif. Seperti di lagu Buka Mata Hati yang liriknya "Banyak yang gagal cerdas karena tak sekolah, Banyak yang gagal sehat karena kelaparan", membuktikan bahwa pesan yang disampaikan dalam lirik menjadi alat untuk membuat para pendengarnya lebih peka dalam sosial bermasyarakt. Belum lagi lagu "Berita Sampah" yang menekankan untuk segera mematikan frekuensi televisi karena banyaknya siaran-siaran yang tidak mendidik.

Album dengan ciri khas yang kuat ini sudah digambarkan dari cover album. Dimana ada sebuah gambar mesin ketik sebagai simbol kata ataupun teks. Kemudian ada gambar ujung dari terompet yang menandakan adanya suara dari kata yang sudah diketik di mesin ketik. Semacam narasi yang ditulis dan bisa mengeluarkan suara. Dari simbol-simbol itu kita seakan diberi tahu bagaimana lirik dalam lagu bisa menjadi semacam alat untuk menyampaikan aspirasi.

Tapi tidak seperti band biasanya yang memang punya warna dalam menentukan genre musik yang dipakai dalam sebuah album. Jujur band ini seperti tidak punya warna khas dalam menentukan genre musiknya. Dari lagu "Berita Sampah", "Ujung Titik", dan "Buka Mata Hati" memiliki aliran musik yang berbeda-beda. Ada rock, pop, ada juga jazz. Saya lebih sepakat jika ada satu aliran yang memang menjadi warna dari band ini. Diluar dari itu, musik yang dimainkan bisa dibilang mantap lah!

Kemudian musik yang terlalu dominan itu menutupi lirik-lirik dari lagu-lagu Ujung Titik yang memang menjadi kekuatan utama dalam mengekspresikan dan menyampaikan aspirasinya. Sehingga para pendengar memang harus jeli dalam mendengar setiap alunan lirik yang disampaikan.

Terlepas dari semua itu, band Indie yang digawangi oleh Riqar Manaba sebagai Vocal dan Aden Ashari sebagai Gitaris patut diapresiasi dengan mencoba untuk keluar dari jalur mainstream. Band ini mencoba untuk tidak mengikuti pasar yang melulu senang dengan hanya lagu bertemakan cinta. Mereka fokus untuk bagaimana menyampaikan aspirasi lewat musik.


0 comments:

Post a Comment