Wednesday 29 January 2014

Sedikit Mengenang Presiden Pertama Indonesia




Dalam salah satu pidato Soekarno pernah berkata, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” atau yang biasa disingkat JASMERAH ini, kalau bisa saya artikan bahwa memang siapa pun itu, entah presiden atau pejabat, suatu saat pasti akan dilupakan. Soekarno berpidato seperti itu bukan karena dirinya ingin diingat terus, tetapi lebih dari itu, ia ingin kita jangan melupakan perjuangan-perjuangan para pahlawan kita yang rela kehilangan apapun untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia.

Soekarno dikenal sebagai orang yang anti kolonialisme dan kapitalisme. Dengan semangat nasionalisme yang sangat besar yang dimilikinya, dia rela dipenjara beberapa kali untuk memperjuangkan rakyat Indonesia. Tapi dengan jiwa sabar itu dia dan tokoh-tokoh nasional lainnya berhasil merebut kemerdekaan dan menjadi proklamator kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sungguh Tuhan hanya memberi hidup satu kepadaku, tidak ada manusia mempunyai hidup dua atau hidup tiga. Tetapi hidup satunya akan kuberikan, insya Allah Subhanahuwata'ala, seratus persen kepada pembangunan tanah air dan bangsa. Dan... dan jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada tanah air dan bangsa. Dalam pidatonya di KBRI USA tahun 1956. Dalam pidato tersebut beliau sangat menekankan bahwa dirinya sangat mencintai rakyat dan negaranya, Indonesia.

Ia juga sangat kesal terhadap siapa saja yang mencoba mengganggu kehidupan rakyat Indonesia, tidak terkecuali negara tetangga, Malaysia. Juga dalam salah satu pidatonya pernah mengatakan, Ini dadaku, mana dadamu? Kalau Malaysia mau konfrontasi ekonomi, Kita hadapi dengan konfrontasi ekonomi. Kalau Malaysia mau konfrontasi politik, Kita hadapi dengan konfrontasi politik. Kalau Malaysia mau konfrontasi militer, Kita hadapi dengan konfrontasi militer.”

Dengan semangat yang berkobar untuk memperjuangkan Indonesia, Pria dengan nama asli Koesno Sosrodihardjo ini kemudian mempunyai aura dan kharismatiknya tersendiri. Tidak heran 5(lima) wanita Indonesia yang dikenal memiliki kecantikan original mau untuk dinikahi oleh Bung Karno.

Soekarno tidak hanya dikenal sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia atau orang yang mempunyai semangat dan jiwa nasionalisme yang tinggi, akan tetapi dia juga dikenal dekat kepada rakyat-rakyatnya. Dalam satu cerita, cerita ini diceritakan Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.

“Nah kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan presiden. Bagaimana mana kalau kita memilih Soekarno?” Soekarno pun menjawab, “Baiklah.”

Sesederhana itu. Maka jadilah Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia. Namanya negara yang berumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Bung Karno. Maka ia pun berjalan kaki. Di jalanan Soekarno bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Presiden Republik Indonesia itu pun memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama, “Sate ayam 50 tusuk”. Ujarnya.

Itu perintah presiden pertama Indonesia, “Sate ayam 50 tusuk”. Soekarno kemudian jongkok di pinggir got dekat tempat sampah. Sambil berjongkok, ia pun menghabiskan 50 sate ayam dengan lahapnya. Itulah pesta pelantikannya sebagai presiden Indonesia yang pertama. Saat Soekarno pulang ke rumah, dia menyampaikan dirinya dipilih sebagai presiden Republik Indonesia kepada Fatwati, istrinya. Fatmawati tidak melompat-lompat kegirangan, justru Fatmawati menceritakan wasiat ayahnya sebelum meninggal.

"Di malam sebelum bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur. Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata 'Aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi...dalam waktu dekat...anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu'. Jadi ini tidak mengagetkanku. Tiga bulan yang lalu, Bapak sudah meramalkannya," ujar Fatmawati tenang.

Kisah diatas merefleksi kita tentang pemimpin yang sekarang. Bagaimana seharusnya tidak berbuat seenaknya ketika menjadi pemimpin. Dan juga pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Soekarno membagi marhaen menjadi 3 unsur, yaitu, unsur kaum proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia dan kaum melarat Indonesia lainnya. Dan siapakah marhaen itu? Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepatnya yang telah dimelaratkan oleh setiap kaum kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.

Dengan sudah menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno kemudian pada tahun 1962 yang sangat dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mengubah ideologi pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin, membuat elit-elit masyarakat menggungat karena beranggapan akan adanya perintah dan kekuasaan kepada satu pihak, yaitu presiden. Menurut rakyat pada saat itu, masyarakat bukan lagi menjadi pengambil keputusan terakhir.

Akhirnya dalam perjuanga-perjuangan dan pergerakan-pergerakan mahasiswa pada saat itu ikut membantu jatuhnya rezim orde baru dan mengangkat rezim orde baru yang dipimpin Soeharto.

Terlepas dari itu semua, Saya melihat dari semua cerita-cerita, literatur-literatul dan sumber-sumber terkait dengan Soekarno, Ia memang sosok seorang ayah untuk anak-anaknya, Indonesia. Memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan menjalani kehidupan mereka tanpa ada campur tangan pihak asing. Jadi kalau menurut saya, Indonesia hari sebenarnya tidak membutuhkan seorang pemimpin yang seenaknya memperkaya diri. Membuat rakyat menjadi semakin melarat. Dan tidak mensejahterakan rakyat. Indonesia sebenarnya membutuhkan sosok seorang Ayah.

Soekarno dalam pidatonya, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir para penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Itulah Indonesia dewasa ini. Maksud dari melawan bangsa sendiri adalah melawan kemiskinan, pendidikan, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Kesenjangan sosial yang tentunya akan sulit dilawan tanpa perjuangan dan rasa saling memiliki antar sesama manusia.

Monday 27 January 2014

Pers dan Sosial Masyarakat Indonesia


Sesuai dengan Undang-undang pers pasal 3 ayat 1 mengatakan bahwa, Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dengan disahkannya UU Pers tersebut berarti pers dalam hal ini sudah menjadi lembaga yang disahkan oleh negara dan bertanggungjawab atas terciptanya masyarakat yang Indonesia yang sejahtera.

Jadi, tujuan  utama kita mngkonsumsi media per sebenarnya adalah untuk mendapat informasi dan pengetahuan yang luas dengan cepat dan aktual. Kita tidak perlu lagi keluar negeri untuk mengetahui bagaimana kabar bagaimana pemilu Amerika yang berjalan disana atau keluar kota untuk melihat keindahan-keindahan alamnya. Cukup dengan mengkonsumsi media kita sudah tahu segalanya.


Media pers, baik itu media visual, media cetak, dan media elektronik sangat mempengaruhi tatanan-tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kita bisa melihat fenomena-fenomena sosial yang ada di Indonesia bahwa pers bisa dikatakan adalah obat yang paling ampuh untuk dijadikan sebagai alat doktrinisasi. Seperti contoh, belum lama ini ada satu siaran di salah satu stasiun TV swasta yang menayangkan acara sahur pada bulan puasa. Kemudian untuk menarik traffic atau penonton untuk menyaksikan acara tersebut, maka mereka merekayasa acara tersebut dengan membagi-bagikan uang disetiap episodenya. Nah, setelah mendapat banyak penonton dan menjadikan tayangan tersebut sebagai acara dengan rating tertinggi, mereka kemudian mengubah konsep acara dengan berjoget bersama. Yang kemudian diikuti oleh orang yang menonton acara tersebut. Akhirnya dengan modal para penikmat goyangan dan penonton yang terus menyaksikan acara tersebut semakin besar dan membuat penikmat tayangan TV tersebut semakin luas jangkauannya, mulai dari orang dewasa sampai adikku pun ikut menirukan goyangan yang ada di acara tersebut.

Dengan modal sudah berhasil mempengaruhi banyak masyarakat membuat media pers sudah melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu mendidik rakyat Indonesia dengan berita-berita aktualnya dan sebagai media yang informatif.

Saya kebetulan sudah menonton film "Dibalik Frekuensi", dimana ternyata sudah banyak terjadi kebohongan-kebohongan media yang dinikmati masyarakat Indonesia belakangan ini. Acara-acara di TV di setting sedemikian rupa untuk menarik minat penonton dan bertolak belakang sebagai sumber informasi masyarakat.

Contoh lain yang menunjukkan Pers hari ini tidak lagi Independen atau memberikan informasi sesuai pesanan dan tidak lagi mengatakan kebenaran adalah saat dimana berita seorang bapak tua yang menjadi korban lumpur lapindo di daerah Jawa Timur. Saat itu sang bapak telah kehilangan rumah serta harta benda lainnya yang dimakan lumpur. Bapak ini pun kemudian meminta sang orang-orang atau petinggi-petinggi negara yang bertanggungjawab atas musibah yang dihadapinya untuk memperhatikan masyarakat-masyarakat yang terkena lumpur seperti dirinya. Lain daripada yang lain, bentuk protes bapak ini dengan berjalan kaki dari daerah asalnya, Jawa Timur, ke Jakarta. Semua orang kemudian tergugah hatinya karena melihat perjuangan seseorang untuk didengar aspirasinya oleh pejabat-pejabat negara yang secara langsung bertanggungjawab atas kejadian itu. Tetapi beda pohon semangka dan pohon melon. Setelah membaca beberapa artikel dan sumber referensi terkait aksi seorang bapak yang berjalan dari Jawa Timur ke Jakarta untuk mengadu tentang permasalahan yang dideritanya dan didengar aspirasinya ternyata dibayar sangat murah untuk mengubah statment-nya. Yang awalnya berjalan karena ingin betul-betul menyampaikan pendapatnya ternyata dibayar sangat murah untuk mengubah niat awalnya yang baik. Bagi Pers dan media 

di Indonesia, suatu kebenaran mungkin hanya dibayar murah.

Saya yang semula meng-imani dan meng-amini aksi heroik sang bapak, justru sekarang sangat kontras dengan kepercayaan saya terhadap semua tayangan-tayangan televisi. Berita yang sebenarnya memberikan informasi dan menyampaikan kebenaran justru merekayasa kebenaran menjadi kesalahan. Soe Hok Gie dalam bukunya pernah mengatakan, manusia yang baik adalah manusia yang mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan.

Kebebasan pers di Indonesia hari ini dewasa ini memang patut kita banggakan. Tetapi kebanggaan itu jangan membawa kita ke kebebasan yang terlalu bebas. Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki sama saja berlawanan dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhana pun memiliki tata tertib tersendirinya masing-masing. Menurut penulis, peran pemerintah saat ini harus membuat regulasi terhadap kepemilikan media di Indonesia. Kebebasan yang terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial yaitu homogenisasi berita dan politisasi media. Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali dimainkan oleh media yang dimiliki oleh satu orang pemilik modal.

Jangan Selalu Berfikir Negatif
Di sebuah warung kopi dekat kampus, saya bertemu teman kecil yang sudah terpisah sejak SD. Kemudian kami berbincang masalah pers yang kemudian menjadi hobinya sebagai reporter. Dia berbicara panjang lebar tentang pers dan memberikan beberapa contoh-contoh tentang ilmu jurnalistiknya.

Terkadang memang orang yang sudah terbawa suasana akan kebohongan-kebohongsn pers akan kembali sulit mempercayai informasi-informasi dari berbagai media. Seperti contoh diatas, pers seolah-olah hanya menjadi alat dari seseorang atau segelintir orang untuk memperoleh sesuatu dari hasil tontonan masyarakat. Tetapi mungkin tidak semua media sekejam dan sejahanam itu dalam menyampaikan beritanya. Pers tidak melulu menjadikan tayangannya sebagai media penyambung yang kusut untuk Indonesia. Sebagai contoh, kita bisa melihat bencana alam yang terjadi di gunung Sinabung daerah Sumatera. Bencana alam yang memakan beberapa korban jiwa atas terjadinya letusan gunung berapi membuat masyarakat sekitar menjadi kalang kabut. Dimana peran pers disini? Kalau kita analogikan, peranan pers sebenarnya ada 2, yaitu, sebagai fungsional dan sosial. Jika kemudian peran sosial yang diambil, maka para wartawan dan reporter akan menolong korban bencana letusan gunung Sinabung sibisa dan semampunya. Tapi jika mengambil peran fungsionalnya, para pemburu berita ini pasti akan melaporkan bencana tersebut dan mem-publish berita yang mereka dapat. Apa jadinya? Para donatur dari berbagai daerah untuk menolong korban mereka yang membutuhkan bantuan. Bayangkan jika para wartawan dan reporter hanya mengambil peran sosialnya, apa yang mereka bisa lakukan untuk menolong korban. Sama seperti analogi kebakaran. Jika kita melihat sebuah rumah terbakar, apa yang akan kita lakukan? mengeluarkan peran sosial kita dengan menyiram air ke rumah yang terbakar atau berteriak meminta tolong kepada tetangga untuk menyiram rumah yang terbakar tadi. Jelas semua orang akan memilih mem-publish berita dulu baru kemudian mengumpulkan tenaga untuk mangatasi sebuah masalah lalu dikerjakan bersama. Seperti itulah seorang wartawan dan atau reporter dalam menjalankan tugasnya. Jadi, kita jangan terus berpandangan negatif terhadap media dan pers. Tetapi kita juga tidak boleh terlalu mempercayai informasi dari satu sumber. Cari sebanyak-banyaknya sumber referensi untuk menguatkan opini kita.


Jadi, peranan pers dalam menjaga kepentingan negara memang sangat dibutuhkan guna menyeimbangkan kondisi-kondisi yang ada di masyarakat Indonesia.






Tuesday 7 January 2014

Orang-Orang Sebelum Pagi


Tidak banyak orang yang mengetahui keadaan-keadaan sosial pada saat matahari belum terbit. Dimana saat itu kebanyakan dari kita masih terlelap dalam mimpi indah kita. Saya yang punya kebiasaan susah tidur malam, atau teman-teman biasa memanggil saya manusia 'nokturnal' adalah manusia yang hanya beraktivitas pada malam sampai dini hari, kebetulan saat saya masih terjaga, perut yang hanya berisi angin ini berbunyi nyaring. Saya kemudian keluar untuk mencari makan.

Udara yang sangat dingin terasa begitu menusuk. Disinilah saya menyaksikan fenomena-fenomena sosial masyarakat sekitar pada subuh hari. Pun saya berjalan di atas trotoar. Kemudian melewati terminal. Suasana terminal yang berada dipikiranku sebelumnya adalah sepi dan menyeramkan. Ternyata kontras dengan apa yang saya lihat. Disana sudah menunggu kernek sambil meneriakkan arah tujuan bus. Dengan dibantu temannya mengajak orang yang melintas sambil melambaikan tangan. 

Berjalan agak jauh, saya melihat satu keluarga lengkap dengan kakek neneknya tidur di emperan ruko pinggir jalan. Kondisi dimana sebuah keluarga yang seharusnya pada waktu itu nyenyak tidur di dalam rumah, justru beralaskan tanah di pinggir jalan dengan diiringi nyanyian nyamuk. Berselimutkan hanya sarung dan beratapkan langit gelap. Salah satu keuntungan orang-orang seperti ini adalah bisa tidur dimana saja. Sangat berbeda dengan kita. Nyamuk seekor saja kita sudah mengeluh minta ampun

Saya melihat mereka tidur malam hari. Dan pada sore harinya mereka berjalan untuk mencari sesuap nasi. Mengais rezeki yang kita anggap sampah tapi bagi orang-orang itu adalah emas. Begitulah alur hidup mereka setiap harinya. Seperti kata pepatah anak jalanan, "Hari ini makan, besok berpikir lagi untuk makan."

Ir. Soekarno pernah berpidato dan mengatakan, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." Itulah Indonesia dewasa ini. Maksud dari melawan bangsa sendiri adalah melawan kemiskinan, pendidikan, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Kesenjangan sosial yang tentunya akan sulit dilawan tanpa perjuangan dan rasa saling memiliki antar sesama manusia.

Sangat miris rasanya melihat kondisi keluarga mereka. Mau membantu, saya juga tidak memiliki daya apa-apa. Tinggal bagaimana para pemimpin negara melihat kesenjangan-kesenjangan sosial seperti ini. Bukan hanya melihat, kondisi seperti ini memang layak mendapat perhatian dari bapak-bapak pimpinan. Turun tangan untuk menggapi hal seperti itu.

Bukan malah tidur saat bicara soal rakyat seperti kata idola saya, musisi legenda, Iwan fals, "Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat." Dan malah lebih tragis lagi. Mereka seperti tidak punya rasa syukur dengan apa yang didapatnya. Saat ini berbagai media gencar-gencarnya memberitakan soal pembangunan gedung wakil rakyat yang baru senilai hampir triliunan rupiah.

Sebenarnya, bukan hanya pemerintah. Tetapi kita semua punya tanggungjawab sebagai masyarakat sosial. Dan sebagai umat beragama kita juga dianjurkan untuk saling tolong menolong sesama umat manusia. Selain Habluminallah, kita juga harus Habluminannas. Entah dengan cara apapun kita menolongnya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Itulah mengapa kita diciptakan berbeda-beda. Karena perbedaan kita dapat ditutupi oleh perbedaan orang lain. Dan itu termasuk salah satu ibadah kita terhadap tuhan.

Dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang selalu dielu-elukan oleh rakyat Indonesia ternyata sampai hari ini belum mencapai angka yang memuaskan. Mungkin yang saya lihat ini hanya merupakan sebagian kecil dari kesenjangan-kesenjangan sosial yang ada di dunia khususnya di Indonesia.

Dibalik keramaian kota siang hari, ternyata ada orang-orang sebelum pagi.