Wednesday 25 December 2013

Bukit Indah Paralayang

Cara saya menikmati hidup

Jumat malam itu di kota Malang sedang diguyur hujan lebat, saya beserta teman-teman sedang asyik ngopi di Pakde (panggilan akrab penjual kopi). Membicarakan banyak hal mulai dari hal terkecil sampai membicarakan kemajuan bangsa Indonesia. 

Pembicaraan tersebut mulai mengarah kemana-kemana entah mau kemana arah pembicaraannya. Saya dengan 3 temanku memang jika bertemu mempunyai banyak pembahasan untuk dibicarakan. Tetapi malam itu teman yang namanya Aldri mengajak ke paralayang sekaligus menjadi salam perpisahannya, entah untuk yang keberapa kalinya dia bilang ingin pulang.

Dan kemudian 'diimani dan diamini' oleh teman-teman yang lain.


Bersama Aldri (kiri)


Akan sepi rasanya jika jalan-jalan ini hanya kami ber-empat. Untuk itu Aldri yang dikenal mempunyai keahlian di bidang komunikasi dan informasi dengan cepat mengajak teman-teman yang mau ikut. 

Dengan cepat pula, sekitar 8 orang mengkonfirmasi untuk ikut, entah karena keinginan sendiri atau mungkin keahlian sang informan.

Alhasil, sudah 12 orang terkumpul. Mereka adalah Aldri, Adi, Yogi, Jarot, Ipink, Wahyu, Anci, Fina, Syifa, Nirma, Ifa dan saya sendiri. Mereka sebenarnya adalah korban dari perbuatan Aldri. 

Meskipun sudah satu setengah tahun berada di Malang, tetapi belum sekali pun saya menginjakkan kaki di bukit paralayang. Tanpa ada instruksi untuk bersiap, saya dan teman-teman sudah siap untuk berangkat. 

Dengan menggunakan 6 motor kami menyusur kota Batu yang dingin dan sunyi. Jalanan yang sepi membuat laju kendaraan kami hampir mencapai 120 km/jam. Ditemani lampu jalan yang mempunyai warna yang khas. 

Sampai di kota Batu, kami pun kemudian singgah di rumah keluarga teman kami, Yogi. Sangat kebetulan, waktu masih menunjukkan pukul 1 malam, sementara keinginan kami hanya mau melihat matahari terbit.

Banyak kelakuan aneh yang terjadi dirumah keluarganya Yogi. Mulai dari yang tidur sampai yang berbuat aneh. Ada yang asyik ngobrol dan ada yang asyik melamun. Bahkan ada yang sampai teman saya, Aldri, sibuk berfoto ria dengan menggunakan kostum polisi.

Jam dinding sekarang menunjukkan pukul 4.15.

Waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Kurang lebih setengah sampai satu jam kita baru sampai puncak paralayang. Dengan tanjakan dan tikungan yang sangat tajam, dibayar dengan dinginnya puncak bersama kabut yang menyelimuti. Dingin sudah pasti sampai kekulit bahkan menembus tulang.

Tanpa menunggu waktu lama, kami kemudian mengambil pose masing-masing untuk berfoto. Ada yang berpose terbang sampai salto jungkir balik diatas bukit paralayang. Jarot sebagai juru foto mengabadikan jejak perjalanan kami. Sambil mengeluarkan bekal yang dibawa dari Malang.
Cara teman saya menikmati hidup

Kabut yang menyelimuti tadi perlahan kemudian menghilang dan menampakkan kota Malang dari atas bukit paralayang. Saya kemudian berdiri di sisi bukit dengan belaian angin dingin melihat lampu-lampu rumah yang masih menyala seperti kunang-kunang beterbangan.

Terasa sangat menyenangkan melihat kota Malang dari atas bukit paralayang dengan tertawa lepas bersama teman-temanku. 

Beginilah cara saya menikmati hidup ini.



Tuesday 10 December 2013

Omah Munir, Museum HAM Pertama di Indonesia


Munir merupakan aktivis sosial dan hak asasi manusia. Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari sosok Munir. Mulai dari bagaimana beliau membela keadilan dan mengatakan suatu kebenaran. Untuk mengingat kembali perjuangan-perjuangan seorang Munir maka keluarga dan kerabat sepakat membuat museum Munir. 

Minggu, 8 Desember 2013 bertempat di Jln Bukit Berbunga No. 2 RT 4 RW 7 Sidomulyo Batu, sejuknya kota Batu menjadi hangat dengan dibukanya “Omah Munir”. Omah Munir merupakan museum HAM pertama di Indonesia. Didirikannya “Omah munir” ini diharapkan menjadi refleksi untuk pemuda-pemuda Indonesia dalam mengingat pikiran-pikiran dan perjuangan-perjuangan Munir. 

Turut hadir pula dalam acara pembukaan tersebut Wakil Walikota Malang, Walikota Batu, Wakil Walikota Batu, wakil dari DPR Malang, wakil dari Komnas HAM, Faisal Basri, Butet Kertanegara, aktivis dan LSM, serta beberapa tokoh nasional dan beberapa akivis mahasiswa lainnya. 

Dalam sambutannya, Butet Kartanegara mengatakan, “Ingatan itu pendek, tapi kebenaran itu akan panjang dan selamanya.” Beliau juga menghimbau kepada rakyat dan khususnya kepada para mahasiswa-mahasiswi sebagai ujung tombak penerus bangsa untuk mengatakan suatu kebenaran meski sekecil apapun”. 

“Saya mengingat seorang Munir itu adalah seorang yang memang memegang teguh prinsipnya, memperjuangakan hak-hak rakyat dan membela keadilan.” Ucap salah satu wakil dari komnas HAM dalam testimoninya. 

Jika kita melihat ke dalam museum, terdapat patung, monumen-monumen, penghargaan yang diraih oleh munir dan pemikiran-pemikiran serta perjuangan-perjuangan munir dalam membela hak asasi manusia semasa hidupnya. 

Diharapkan dengan adanya museum “Omah Munir” ini menjadi refleksi kepada rakyat Indonesia untuk membela keadilan dan mengatakan kebenaran.