Hari raya idul fitri merupakan waktu yang paling tepat untuk
bersilaturahmi bagi ummat muslim yang merayakan kemenangan setelah berpuasa
sebulan penuh. Setelah melaksanakan sunnah sholat idul fitri sudah menjadi
kultur masyarakat menyambangi sanak keluarga, teman, serta kerabat. Saya
beserta keluarga pun begitu. Momen sekali setahun itu dimanfaatkan dengan baik
untuk menyambung kembali ikatan persaudaraan yang kabur selama setahun karena
kesibukan masing-masing dari kita.
Ada cerita, saat menyambangi sanak keluarga, semuanya
berkumpul. Kakek, nenek, om, tante, sepupu, dan kemenakan yang masih kecil. Dan
sudah menjadi hal yang pasti ketika mucul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang
menurut saya mengintrik. Seperti, kapan lulus? Kemudian saya menjawab dengan
nada yang agak santai, “kalau saya sudah merasa
pantas menjadi sarjana.”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu juga dilontarkan kepada
keluarga-keluarga sebaya saya. Tidak terkecuali kemenakan yang masih kecil yang
ditanya soal cita-cita mereka. Ada yang menjawab ingin jadi dokter, professor,
presiden, dan jawaban-jawaban yang membutuhkan perjalanan panjang hidup mereka.
Tapi, seorang anak kecil tidak memikirkan persoalan itu, tentang halangan dan
rintangan mereka. Mereka mungkin cuma asal bicara. Sedangkan menurut saya itu
adalah optimisme seorang anak kecil. Saya merasa sangat iri. Dengan pertanyaan
yang saya jawab tadi seolah saya tidak bisa memantaskan diri. Pun dengan modal
hidup saya selama bertahun-tahun. Ini bukan persoalan idealis atau apalah, tapi
persoalan realitas, itu yang biasa saya dengar. Menurut pandangan saya justru
itu bukan persoalan realitas, tapi persoalan semangat hidup dan optimisme.
Saya juga pernah merasakan menjadi anak kecil. Tugas saya
hanya bermain dan bermimpi setinggi bintang. Semua yang saya inginkan pasti
saya perjuangkan. Seperti saat menginginkan mainan. Saya tidak punya cukup uang
untuk membelinya. Kemudian meminta orangtua untuk dibelikan dan tidak dipenuhi.
Terus saya menangis yang kencang. Bagi sebagian orang itu cengeng, tapi itu
dulu adalah cara saya untuk mendapatkan sesuatu.
Dan dewasa ini semua mimpi itu terkikis sedikit demi
sedikit. Mungkin karena sudah melihat kerasnya rahang orang-orang itu. Ayolah,
dimana kau tomy? Dimana jiwa anak kecilmu? Dimana kau taruh mimpi-mimpimu itu?
Saya pernah mendengar prinsip hidup captain bajak laut luffy dan mencoba memegang itu. “Jika kamu tidak mengambil resiko, kamu tidak bisa menciptakan masa depan”, katanya. Jadi, hemat saya mari bersikap dewasa dengan semangat anak kecil! He he he
0 comments:
Post a Comment