Thursday 18 December 2014

Mengungkapkan Emosi



Ada banyak cara bagaimana orang-orang mengungkapkan ekspresi dalam dirinya, termasuk emosi. Emosi tidak muncul begitu saja dalam diri yang kemudian membuat kita jadi lupa diri. Semua yang terjadi pasti ada pemicunya sehingga setiap orang meluapkan emosinya dengan cara yang berbeda-beda pula. Tidak terkecuali pada teman-teman saya di Malang. Saudara sesama pencari ilmu otomatis melewati masa-masa dimana kami harus susah bersama dan senang saling berbagi. Luapan emosi seseorang diakibatkan karena adanya pemicu-pemicu atau faktor-faktor yang membuat emosi itu keluar, semisal dimarahi oleh dosen, diputuskan sama pacar, bertengkar sama teman, dan lain sebagainya.

Pernah diadakan suatu kegiatan di salah satu organisasi saya di Malang. Satu teman saya pada saat itu atau sebut saja saudara seperantauan menjabat di posisi strategis organisasi tersebut. Banyak masalah yang menimpanya mulai dari masalah dana, kurang harmonisnya pengurus pada saat itu, jarang komunikasi, dan masih banyak lagi masalah-masalah yang menimpanya saat itu. Posisi saya yang tepat pada saat itu adalah sebagai partner atau tempat dimana dia bisa menceritakan semua masalahnya. Suatu ketika di warung makan saya sempat bercerita kepada dia, bahwa, konflik-konflik atau masalah-masalah yang terjadi di dalam suatu perkumpulan itu wajar. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, semakin besar tanggungjawab yang diemban seseorang, pasti semakin banyak masalah yang dihadapi, itulah harga proses pembelajaran. Lantas kemudian saya bertanya kenapa sedari kemarin tidak tampak wajah kekesalan atau emosi yang kau munculkan. Kemudian dia menjawab, saya memang bukan orang yang menampakkan kekesalan saya di muka umum, tetapi kekesalan saya, saya pindahkan ke tempat lain yang lebih aman. Kemana itu? Ke makanan. Untuk memperjelasnya, teman saya itu meluapkan emosinya ke makanan. Sejak saat itu saya tahu, ketika dia sedang marah, untuk menenangkannya harus siapkan makanan hehehe.

Ada juga teman saya yang diberi banyak tugas. Belum urusan kampus yang bergulat dengan tugas, belum selesai itu sudah ada panggilan dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), belum lagi kegiatan diluar  kampus. Semua pikiran-pikiran itu berkumpul di satu kepala yang lumayan kecil. Hingga puncak dari segala emosinya itu akhirnya tumpah dengan cara meneteskan air mata. Dengan semua beban yang dia pendam sendiri. Memang ada karekter manusia yang seperti itu, memendam emosinya sendiri. Satu pelajaran yang saya petik dari situ adalah bagaimana kita sebagai makhluk sosial bisa berinteraksi dan berbagi sesama makhluk sosial. Kita bukan manusia individu yang bisa berbuat semua sendiri, sedikit banyaknya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain.

Masih dengan kasus yang sama. Masalah di organisasi, kuliah berantakan, dan bertengkar dengan teman. Saya pernah jumpai teman yang cukup aneh tapi normal. Bagaimana dia bisa mengontrol emosinya yaitu dengan pergi jalan sendirian. Entah itu dengan naik becak ke alun-alun atau naik angkot sampai ke terminal setelah itu balik lagi kerumah. Fenomena yang ada saya lihat setiap hari pada dirinya. Mengekspresikan kekesalan dengan pergi berjalan-jalan sendiri dan tak satu temannya pun yang tahu sampai dia pulang dan menceritakannya.
Dari semua cerita diatas, satu yang menjadi kekaguman saya pada mereka bahwa mereka adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari rasa benci, sakit hati, dan emosi. Tapi mereka dapat mengontrolnya dengan baik atau mengalihkan rasa kesal mereka ke tempat yang tidak ada satu pun orang yang merasa dirugikan. Apresiasi yang sangat tinggi pula saya kepada teman-teman saya karena tidak berbuat yang 'tidak-tidak' seperti yang biasa dilakukan anak muda zaman sekarang seperti ikut geng motor, ricuh dijalan, dan bentrok atau tawuran. 

Monday 8 December 2014

Psikologi Manusia Modern




Karena memang hobi berselancar di dunia maya, saya biasanya menghabiskan waktu seharian di depan laptop. Segelas kopi untuk menambah kehangatan malam di sebuah ruangan sederhana dengan gitar yang menggantung di dinding serta buku-buku yang berserakan di kamar. Belum lama ini, ketika saya sedang online, salah satu teman mem-posting sebuah video tentang psikologi manusia modern, kemudian saya membuka dan menonton video tersebut.


***

Ceritanya begini, salah satu program televisi di Jerman membuat sebuah acara dengan konsep jebakan. Semua kamera sudah siap diposisinya masing-masing. Satu pria dengan perawakan kumal, kotor, berantakan, berjalan di pusat kota. Lalu-lalang orang berjalan sibuk dengan urusannya masing-masing, atau mungkin menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak penting. Kemudian pria yang berpenampilan seperti pengemis tadi berpura-pura pingsan di tengah ramainya orang-orang berjalan. Ia dengan jaget lusuhnya terbaring diatas trotoar cukup lama. Terlihat tidak ada yang mempedulikan pria tersebut. Selang sekitar 15 menit terbaring, lelaki itupun bangun lalu menghadap ke kamera dan mengangkat bau serta melengkungkan bibirnya member tanda, bahwa tidak ada yang memperhatikannya.

Sesi berikutnya, masih dengan pria yang sama. Tapi dengan penampilan yang jauh berbeda dari tampilan pertama tadi. Kali ini dengan mengenakan jas silver dan berdasi menenteng sebuah koper seperti seorang eksekutif muda. Kembali dengan konsep yang sama, pria tersebut berjalan dikerumunan orang. Denga postur yang tegap dan rambut dibelah samping melewati beberapa toko yang ada di sampingnya sampai kemudian ia kembali berpura-pura pingsan. Tidak berselang lama orang-orang yang berbelanja serta pejalan kaki lain menghapiri pria tersebut dengan perasaan khawatir. Salah satu dari mereka bahkan ada yang berinisiatif memanggil ambulance.

***


Ada sebuah kutipan yang mengatakan bahwa “Don’t judge the people by the cover”. Jangan melihat atau menilai seseorang hanya dari luarnya atau penampilannya. Setiap orang di dunia ini hampir setiap hari mengatakan hal tersebut tetapi dalam kenyataannya, tidak sama sekali. Meskipun dari cerita diatas pada sesi yang pertama tidak ada pernyataan langsung bahwa tidak menolong pria kumal tersebut karena penampilannya, tetapi jika dibandingkan dengan sesi yang kedua dengan pria yang sama tetapi dengan penampilan gagah dan berwibawa kemudian dengan cepat ditolong oleh orang sekitar, sudah dapat disimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat modern hari ini masih memandang orang dari penampilannya. 

Ini juga menunjukkan bahwa dewasa ini masyarakat dunia masih tampak perbedaan-perbedaan kelas social satu sama lain. Masyarakat yang tingkat ekonominya tinggi berkumpul dengan masyarakat dengan ekonomi tinggi pula. Sementara masyarakat yang tingkat ekonominya rendah, berkumpul di pasar atau di terminal. Tidak heran jika cerita seperti diatas, saat pria yang tampak miskin tidak ada orang yang menolongnya. Yah, begitulah realita hari ini, psikologi masyarakat modern.
Corak kehidupan seperti inilah yang membuat kita sering melupakan aspek-aspek penting dalam hidup bersosial. Masing-masing manusia individualis, sehingga menghiraukan bagaimana seharusnya kita tolong menolong atau bahu-mambahu dalam menyelesaikan sebuah persoalan.