Friday 12 August 2016

Pendidikan Kaum Tertindas atau Pendidikan Kaum Menindas


Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, mengatakan bahwa, metode belajar-mengajar yang baik adalah interaksi antara si pengajar dan si pelajar. Artinya, guru tidak boleh jadi subjek belajar dan murid menjadi objeknya. Meskipun guru dan murid punya tugas yang berbeda, tapi dalam konteks pendidikan, guru dan murid harus sama-sama memposisikan diri sebagai subjek pendidikan. Hal ini disebabkan karena murid yang diajar tidak harus menelan mentah-mentah apa yang disampaikan oleh si pengajar. Ada proses berfikir kritis murid dan bisa mengoreksi guru. Sehingga guru tidak hanya 'ceramah' di depan kelas. Tapi ada interaksi antara guru dan murid sebagai subjek-subjek. 

Soe Hok Gie juga pernah menulis, "Guru bukanlah dewa yang harus terus didengar dan murid bukanlah kerbau". Itu karena, pengalaman semasa sekolah saat seorang guru tidak terima dengan pendapat Soe Hok Gie yang mengkritisi pendapat sang guru. Dan sepulang sekolah ia berencana untuk menghajar guru yang tidak terima kritikan tersebut yang pada akhirnya mengurungkan niat tersebut. 

Berbicara pada masa sekarang, persoalan dunia pendidikan memang sangat kompleks. Kita bisa melihat banyak guru-guru yang sangat keras dalam mendidik murid-muridnya dan juga sebaliknya banyak murid-murid yang tidak santun dalam memperlakukan guru sebagai orang tua disekolah. Dibanyak media hari ini sering memuat berita tentang kekerasan di sekolah. Mulai dari guru di sidoarjo yang mencubit muridnya sehingga dipidanakan oleh orang tua murid tersebut. Kemudian baru-baru ini di Makassar, seorang guru yang habis babak belur dihajar oleh orang tua murid karena keras terhadap anaknya yang tidak mengerjakan PR.

Lantas siapa yang harus disalahkan? Guru kah? Murid kah? Atau Orang tua kah?

Disatu sisi guru bertugas untuk mencetak generasi cerdas dan kadang-kadang harus keras dalam mendidik. Disisi lain murid juga harus kritis terhadap pemikiran dan perilaku guru. Sekarang ada 2 subjek yang sama-sama mempunyai ego. Tak ayal, ini yang kadang memicu terjadinya perselisihan antara guru dan murid. Sehingga orang tua pun harus turun tangan dalam persoalan yang justru sering tidak menyelesaikan masalah. Memang, sanksi fisik merupakan alternatif mendidik yang memperkuat mental anak ketika teguran masih juga tidak berdampak.Dan, besar kemungkinan orang tua yang tidak terima juga akan menyikapi perlakuan guru terhadap anaknya.

Nah, kalau begitu, ada dua arah metode mengajar yang beda. Guru terhadap Murid. Orang tua terhadap anak (murid). Orang tua mendidik anaknya di rumah bisa jadi sangat berbeda dengan metode guru dalam mengajar di sekolah. Anak yang dirumahnya penuh dengan kasih sayang akan kaget ketika metode belajar yang keras didapatnya di sekolah.

Menurut saya, memang guru dan orang tua sama-sama sayang terhadap anak didiknya. Hanya, mereka punya cara berbeda dalam menafsirkan sayang tersebut. Jadi terhadap kasus kekerasan guru, murid dan orang tua itu tidak ada yang bisa kita salahkan. Karena semuanya salah. Guru yang keras dan melewati batas toleransi. Murid yang tidak santun. Dan orang tua murid yang ikut turun tangan membalas perbuatan guru.

Yang menjadi pekerjaan rumah bagi setiap unsur dalam pendidikan adalah saling introspeksi diri. Guru harus mendidik murid dengan keras tanpa harus melewati batas-batas toleransi. Murid harus santun terhadap guru tanpa menghilangkan sikap kritis terhadap pemikiran dan perlakuan guru. Orang tua murid juga harus mampu memahami posisi guru yang dituntut untuk menjadi pengajar keras sekaligus sayang terhadap anaknya. Sehingga suasana kondusif didunia pendidikan akan terjaga.

Murid sebagai generasi penerus juga akan nyaman untuk belajar sekaligus menjadi tahan banting dengan metode belajar yang keras.




Tuesday 9 August 2016

Organisasi Mahasiswa: Kekeluargaan dan Profesionalisme


Ada banyak organisasi mahasiswa di Indonesia pada umumnya, dan Malang pada khususnya. Sehingga mahasiswa-mahasiswa yang haus akan forum-forum kritis ataupun diskursus-diskursus dapat terwadahi disetiap organisasi yang mempunyai ideologi dan asas yang beraneka ragam. Pelbagai ideologi atau asas itu kemudian yang menjadi pondasi mereka dalam berfikir dan menjalankan organisasi masing-masing. HMI, PMII, IMM, KAMMI, PMKRI adalah beberapa organisasi yang berasaskan keagamaan. GMNI, FMN, LMND adalah beberapa organisasi yang berasaskan pancasila.

Organisasi ibarat sebuah kapal yang berlayar. Mempunyai pemimpin (kapten kapal) dan awak kapal atau orang-orang yang ahli dalam menjalankan setiap elemen dari kapal. Dalam mengarungi lautan yang ganas, pemimpin dituntut untuk pandai membaca mata angin, situasi dan kondisi serta menjadi patron bagi seluruh awak kapal untuk sampai ke tujuan. Kristoforus Kolumbus (1451) adalah seorang penjelajah asal Genoa, Itali, yang menyeberangi Samudera Atlantik dan berhasil menemukan benua Amerika untuk pertama kalinya (meskipun masih banyak pendapat yang menentang hal itu). Perjalanan tersebut didanai oleh Ratu Isabella dari Kastilia Spanyol setelah ratu tersebut menaklukkan Andalusia.

Dalam mengarungi samudera atlantik, Kolumbus, tidak hanya bermodalkan nekat dan keberanian. Perjalanan tersebut penuh analisa dan pertimbangan sampai akhirnya ia percaya Bumi berbentuk bola kecil yang dapat dilalui kapal. Sama halnya memimpin sebuah organisasi, pemimpin tidak hanya harus punya modal nekat dan keberanian. Pemimpin harus memerlukan analisa yang kuat dan punya instrumen-instrumen pendukung dalam menjalankan kapal organisasi, semisal, kompas agar tidak tersesat di lautan dan awak kapal yang tangguh.

Dalam berlayar tentu harus punya visi dan tujuan yang jelas. Sehingga dapat memperhitungakan segala kemungkinan yang akan terjadi di tengah jalan.

Perjalanan untuk sampai ke tujuan tidak selamanya mulus. Kadang-kadang kapal menemui ombak yang ganas sampai badai yang sangat besar yang membuat kapal terombang-ambing dilautan lepas. Bahkan dapat membuat kapal menjadi bocor dan karam dilautan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana menambal bagian kapal yang bocor dan menyelamatkan kapal yang tenggelam?
Sebelum berlayar, hal yang paling utama adalah bagaimana kita tahu rule of game-nya. Agar, masing-masing dari awak kapal mengetahui tugas pokok dan fungsinya. Misalkan, petugas mesin harus mengerti, kapan mesin dinyalakan atau dimatikan, kapan mesin dipercepat atau diperlambat dan menjaga kestabilan kapal. Atau semisal nahkoda, ia harus pandai membaca mata angin, garis lintang dan garis bujur agar kapal tidak dibawa ke tujuan yang salah.

Sama halnya dengan organisasi. Disetiap organisasi dikenal yang namanya konstitusi. Aturan main yang dibuat dan dijalankan oleh para anggotanya sebagai landasan untuk berlayar. Seorang anggota harus mengerti tugas dan fungsinya. Serta menjalankan hak dan kewajibannya sebagai anggota yang diatur dalam konstitusi. Begitu pula dengan Ketua Umum, ia juga harus mengerti tugas dan tanggungjawabnya serta menjalankan hak dan kewajibannya sehingga tidak ada disintegrasi disetiap personalia organisasi.

Jika aturan main tersebut dapat dijalankan dengan baik dan benar, maka besar kemungkinan kesalahan-kesalahan yang dapat mencelakai dapat diatasi dengan cepat. Karena, masing-masing personal sudah mengerti kewajiban masing-masing. Apalagi, kecelakaan yang terjadi rata-rata disebabkan karena human error.

Selain mematuhi konstitusi atau aturan main, setiap personal, khususnya pemimpin, harus memahami karakter dari setiap anggotanya. Menurut Prof. M. Jabir (1994), hal itu kemudian digunakan untuk menciptakan suasana yang nyaman sehingga hubungan setiap anggota menjadi harmonis dan memiliki sense of belonging. Dan secara kolektif saling menutupi kekurangan dan ‘bergotong-royong’ melanjutkan perjalanan organisasi sampai tujuan.

Tapi dalam beberapa studi kasus, kekeluargaan kemudian dijadikan sebagai “tameng” agar bisa menghindar dari rule of game yang telah dibuat. Organisasi yang terlalu mengedepankan rasa kekeluargaan sebagai kulturnya akan lebih rawan terjadi kecelakaan organisasi.

Kapal titanic yang diklaim sebagai kapal terbesar dan sangat canggih itu juga ternyata karam karena kelalaian awak kapalnya yang terlambat merubah haluan kapal sebelum akhirnya menabrak gunung es yang menyebabkan lambung kapal bocor dan tenggelam. Kecelakaan itu terjadi karena awak kapal berada pada zona nyaman dan akhirnya melupakan rule of game atau aturan main kapal (organisasi).
Menurut hemat penulis, faktor kekeluargaan dan aturan main tidak bisa dilepaskan dalam menjalankan kapal organisasi. Keduanya harus berjalan beriringan atau bisa dinamakan ‘kekeluargaan konstitusional’. Karena jika hanya mengacu pada konstitusi, para anggota atau awak kapal akan dengan terpaksa, seperti robot, menjalankan tugas dan tanggungjawabnya tanpa ada sense of belonging atau rasa memiliki organisasi.

Begitupun sebaliknya, akan terjadi rawan kecelakaan jika faktor kekeluargaan mendominasi instrumen organisasi sehingga melupakan aturan-aturan main yang berlaku.

Dan sebenarnya kita tidak bisa menyelamatkan kapal yang tenggelam, kita hanya bisa mencegahnya tenggelam dengan mengantisipasi dengan ‘kekeluargaan konstitusional’ tadi. Faktor-faktor lain yang memungkinkan kapal akan tenggelam tetap akan terjadi. Tapi justru itu akan menambah kekuatan kita untuk lebih besar. Karena pelaut yang ulung tidak dilahirkan di laut yang tenang. Pelaut yang ulung justru dilahirkan dari ombak yang besar dan badai yang ganas.


Monday 8 August 2016

Cantik Itu Yang Unik


Untuk pecinta film, siapa yang tidak mengenal Angelina Jolie yang sering muncul ke layar kaca sebagai pemeran utama dan paling mencolok. Muncul Dengan acting yang bagus dan paras yang anggun, tidak ada yang menolak jika banyak yang menyebut Angelina Jolie itu sosok wanita yang sempurna. Atau penyanyi Taylor Swift dengan tubuh tinggi ramping, hidung mancung dan berambut pirang menyanyi diatas panggung dengan penuh pesona. Dan sudah pasti tidak ada yang menolak jika mengatakan Taylor Swift adalah salah satu istri idaman.

Sadar atau tidak sadar, saat ini, kita sudah masuk pada era informasi. Arus kuat peradaban yang memaksa kita untuk mengkonsumsi informasi yang ada di media dewasa ini. Salah satu tujuan dari globalisasi, persamaan persepsi, “Siapa yang menguasai informasi, dia akan menguasai dunia”, semboyan inilah yang menjadi landasan orang-orang yang punya kepentingan untuk menyamakan persepsi semua orang; propaganda.

Propaganda memang menjadi alat yang sangat ampuh untuk mempermainkan pemikiran ataupun pendapat seseorang. Apalagi di zaman teknologi informasi ini banyak jalan untuk menjalankan misi propaganda, misalnya, media social, media cetak dan sekarang yang paling ampuh adalah media televisi. Karena indikator keluarga modern setidaknya punya satu televise dirumah. Dengan kekuatan seperti itu, propaganda-propaganda yang diluncurkan akan mudah diserap dan dikonsumsi tanpa harus dicerna oleh masyarakat umum.

Jika kita melihat ke pedalaman dunia yang belum dimasuki oleh media-media propaganda, maka kita akan melihat banyak, menurut persepsi kita, cantik itu unik. Saat anda berjalan-jalan ke utara Thailand, anda akan mendapati wanita berleher panjang. Mereka memanjangkan leher menggunakan kumparan/gelang kuningan sejak berusia lima tahun. Setiap kumparan/gelang kuningan ini akan berganti dengan yang lebih panjang secara berkala. Berat kumparan kuningan tersebut yang mendorong tulang selangka turun dan menekan tulang rusuk sehingga membuat leher menjadi lebih panjang. Kumparan ini tidak akan dilepas, kecuali jika ingin diganti dengan yang lebih panjang. Wanita suku Kayan melakukan itu dengan alasan kecantikan. Cantik itu yang berleher panjang.
Menjadi cantik versi suku Mursi di Ethiopia juga terbilang unik. Mereka menilai kecantikan seorang wanita dari seberapa lebar ukuran mulutnya. Semakin lebar ukuran mulut seorang wanita, maka semakin cantiklah dia. Tradisi meregangkan bibir ini disebut ‘labret’. Wanita suku ini mulai memperbesar ukuran mulutnya pada usia yang amat belia, yakni 13 hingga 16 tahun. Caranya pasti sangat sakit, karena bagian bawah mulut diiris sepanjang 1 sampai 2 cm lalu dimasukkan piringan bulat kedalam irisan luka tersebut. Setelah 2 atau 3 minggu, piringan tersebut diganti dengan ukuran yang lebih besar hingga mencapai 10 sampai 15 cm bahkan ada yang hingga 25 cm. Piring di mulut para wanita suku Mursi ini menandakan bahwa mereka memiliki daya tahan tubuh yang kuat, kedewasaan dan kecantikan. Jadi, menurut suku Mursi, cantik itu yang bermulut lebar. Dan masih banyak lagi bagaimana yang dikatakan cantik di dunia ini.

Kembali ke persoalan persepsi, sejarah munculnya propaganda dapat dimulai dengan membahas operasi propaganda pertama yang dilakukan oleh pemerintahan modern, yaitu pemerintahan Wodrow Wilson. Dia memenangkan pemilihan presiden tahun 1916 dengan platform “Perdamaian Tanpa Penaklukan”. Itu terjadi ditengah berkecamuknya Perang Dunia I. Rakyat Amerika waktu itu sangat anti perang dan merasa tidak ada alasan untuk terlibat dalam perang Eropa. Mereka kemudian membentuk komisi propaganda pemerintah. Komisi ini meraih sukses dalam waktu singkat mengubah masyarakat menjadi massa yang histeris dan haus perang.

Tidak usah sampai membahas propaganda perang. Sedari kecil, anak-anak, khususnya perempuan, sangat suka bermain boneka berbie. Mata berwarna biru, hidung mancung, tubuh ramping dan rambut pirang itu adalah persepsi cantik. Diluar daripada kriteria itu, bisa dikatakan wanita tidak cantik ataupun jelek. Salah satu metode propaganda yang terbilang sukses sampai sekarang. Sejak kecil pemikiran kita sudah ‘dikontrol’ secara fundamental. Dan setelah dewasa, kita akan cenderung melihat perbedaan itu adalah sesuatu yang unik bahkan aneh.

Sekarang, hampir semua negara-negara bisa membaca metode seperti itu, dan digunakan untuk mengangkat budaya masing-masing. Setelah Eropa sudah berhasil dengan mempengaruhi pemikiran masyarakat bahwa cantik itu adalah yang berambut pirang, hidung mancung, tubuh ramping dan bermata biru. Kini negara Korea juga mulai ikut menghegemoni budaya-budaya dunia dengan budaya Korea. Di Jepang bahkan jauh sebelum itu, dengan jargon “men-jepang-kan dunia”. Terbukti sekarang mampu meng-hegemoni dunia dengan propaganda-propagandanya.

Sunday 7 August 2016

Alternatif dalam menyikapi Islam di Indonesia


Fenomena penting yang mewarnai arus transformasi di dunia global adalah menguatnya tuntutan ke arah demokrasi. Seluruh dunia seolah-olah bergerak ke satu titik yang dinamakan demokrasi. Aristoteles dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa nizham (sistem) demokrasi adalah sebuah sistem yang natural, dimana sekumpulan orang yang demi keberlangsungan hidup mereka, memilih pemimpin diantara mereka sendiri yang kemudian berhak ditaati oleh yang lain. Abraham Lincoln, negarawan Amerika Serikat, kemudian lebih menegaskan makna demokrasi yang sebenarnya. Ia mengatakan: “Demokrasi adalah goverment of the people, by the people and for the people” (Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Berbicara mengenai Islam dan demokrasi merupakan dua hal yang serasi. Demokrasi dianggap kompetibel dengan ajaran Islam karena demokrasi adalah cerminan dari beberapa kulliyat (nilai-nilai universal yang dibawa oleh Islam). Dalam Islam dikenal konsep al-tsabit wa’l mutaghayyirat yang dimasukkan oleh para ulama dalam ranah kajian ushul fikih. Al-Tsabit adalah konsep agama yang baku, konstan, mapan dan tidak bisa diotak-atik lagi serta tidak akan lekang dimakan ruang dan waktu. Sedangkan mutaghayyirat adalah teks-teks agama yang qabil li takwil, boleh diterjemahkan sesuai dengan ruang dan waktu. Mutaghayyirat ini adalah ayat-ayat umum yang fleksibel aplikasinya. Risalah ketatanegaran yang sedang kita bincangkan ini datang mewakili varian teks agama yang mutaghayyirat. Ajaran Islam dalam ketatanegaraan menurut hemat penulis sengaja di-design Allah dalam bentuk yang universal (global) agar ia tetap bisa survive mengarungi setiap zaman dan kondisi yang berbeda-beda dan juga ghairu mutanahi (tidak ada ujungnya). Bayangkan misalnya bila Al-Quran mengatur detail-detail bagaimana proses pemilihan seorang presiden, niscaya ajaran Islam sudah lama punah seperti debu yang ditiup angin. 

Formalisasi dan ideologisasi Islam di Indonesia
Abdurahman Wahid dalam bukunnya “Islamku, Islam anda, Islam kita” menegaskan menolak ideologisasi Islam. Baginya, ideologisasi Islam tidak sesuai
dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan ‘negerinya kaum Muslim moderat’. Islam di Indonesia, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis. Di sisi lain, dapat dilihat bahwa ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”. Upaya-upaya untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syari’at-kan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja a-historis, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
 Mengutip pendapat mantan Hakim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya “syari’atisasi” semacam itu menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Penolakan Abdurahman Wahib terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, ia secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara.

Pengembangan untuk masa depan
Perhatian sengaja dipusatkan ke akar Islam untuk pandangan-pandangan sosial-politik, khususnya egalitarianisme, karena di bidang  inilah Islam dapat memberi kontribusi yang paling penting bagi pembangunan bangsa di masa depan, khususnya pembangunan demokrasi. Sebab, sekalipun akar Islam untuk segi-segi budaya lain, seperti spiritualisme, tetap amat penting, seperti dikatakan oleh Ernest Gellner di “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan” karya Nurcholish Majid, spiritualisme  dalam bentuknya yang hierarkis seperti terdapat dalam, misalnya, ajaran-ajaran atau praktek-praktek kesufian tertentu, selalu terlihat dari keseluruhan Islam sebagai berada di tepian, tidak sentral. Kesufian sendiri melahirkan tradisi intelektual dan keagamaan yang kaya, yang pada intinya masih bisa dijejaki segi persambungannya yang autentik dengan Tradisi Agung Nabi sendiri. Namun tidak dapat diingkari bahwa dalam pengembaraan intelektual dan pertumbuhan pelembagaannya, sebagian sufisme akhirnya berujung pada pembagian manusia secara bertingkat-tingkat, tidak lagi egaliter sepenuhnya. Sementara itu, pada inti Islam, sebagaimana telah dikemukakan, semangat egalitarianisme adalah tetap. Dan egalitarianisme inilah, bersama dengan semangat keilmuan, yang membentuk bagian dari Islam yang paling sesuai dengan semangat zaman modern. Kata Gellner, “Kenyataan bahwa varian sentral, resmi dan ‘murni’ (dari Islam) itu, bersifat egaliter dan keilmuan, sementara hierarki dan ekstase termasuk bentuk-bentuk pinggiran yang terus mengembang dan akhirnya diingkari, sangat membantunya (Islam) untuk beradaptasi kepada dunia modern.”
Kegairahan keagamaan yang meliputi banyak kalangan dewasa ini, khususnya keagamaan Islam, dapat menjadi pangkal pengembangan dan pengukuhan akar-akar Islam bagi konsep-konsep tentang masyarakat yang terbuka, adil, dan demokratis di Indonesia. Tapi, kegairahan saja tentu tidak cukup. Lebih penting ialah adanya kemauan dan kesempatan untuk memperluas dan mempertinggi tingkat pemahaman akan ajaran-ajaran Islam.
Egalitarianisme itu seperti bisa dipahami dari salah satu kutipan sebelumnya, dengan kuat sekali menyangkut pula rasa dan kesadaran hukum, dan kesadaran bahwa tak seorang pun dibenarkan berada diatas hukum. Juga tampak dari salah satu kutipan sebelumnya, egalitarianisme itu, besera rasa dan kesadaran hukumnya, diwujudkan oleh Nabi dalam rintisannya untuk membentuk komunitas-negara yang berkonstitusi. Konstitusi Madinah dari zaman Nabi itu, sama halnya dengan semua konstitusi, adalah hasil pengikatan diri (‘aqd, “kontrak”) antaranggota masyarakat tanpa memandang latar belakang primordialnya. Karena itu, setiap konstitusi mengikat semua warga masyarakat, dan harus ditaati serta dipatuhi dengan konsekuen, sesuai dengan perintah agama untuk menaati setiap perjanjian dan kesepakatan bersama.
Berbagai problema umat muslim Indonesia, dan dalam hal ini umat Islam dimana saja, ialah kesenjangan yang cukup parah antara ajaran dan kenyataan. Dahulu Bung Karno menyeru umat Islam untuk “menggali api Islam”, karena agaknya dia melihat bahwa kaum Muslim pada saat itu, mungkin sampai sekarang, hanya mewarisi “abu” dan “arang” yang mati dan statis dari warisan kultural mereka. Kiranya, kutipan-kutipan panjang tersebut banyak menopang kepercayaan kaum Muslim tentang Islam, khususnya kaum muslim dari kalangan “modernis” dan kaum Muslim yang menghayati secara mendalam “api” Islam. Tetapi, barangkali yang lebih penting lagi ialah bahwa perspektif semacam itu dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk melihat problema umat Islam di Indonesia dewasa ini berkenaan dengan sumbangan yang dapat mereka berikan kepada penumbuhan dinamis nilai keindonesiaan dengan bahan-bahan yang ada dalam ajaran agama mereka sendiri. Dan yang amat diperlukan oleh umat Islam, melalui para kaum intelektualnya, ialah keberanian untuk menelaah kembali ajaran-ajaran Islam yang mapan (sebagai hasil interaksi sosial dalam sejarah), dan mengukurnya kembali dengan yardstrick, sumber suci Islam sendiri, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Tapi, barangkali hal itu akan berarti tuntutan untuk melakukan mujahadah, dengan memikirkan kembali makna Islam, umat, syariat, dan lain-lain.