Pernah diadakan suatu kegiatan di salah satu organisasi saya di Malang. Satu teman saya pada saat itu atau sebut saja saudara seperantauan menjabat di posisi strategis organisasi tersebut. Banyak masalah yang menimpanya mulai dari masalah dana, kurang harmonisnya pengurus pada saat itu, jarang komunikasi, dan masih banyak lagi masalah-masalah yang menimpanya saat itu. Posisi saya yang tepat pada saat itu adalah sebagai partner atau tempat dimana dia bisa menceritakan semua masalahnya. Suatu ketika di warung makan saya sempat bercerita kepada dia, bahwa, konflik-konflik atau masalah-masalah yang terjadi di dalam suatu perkumpulan itu wajar. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, semakin besar tanggungjawab yang diemban seseorang, pasti semakin banyak masalah yang dihadapi, itulah harga proses pembelajaran. Lantas kemudian saya bertanya kenapa sedari kemarin tidak tampak wajah kekesalan atau emosi yang kau munculkan. Kemudian dia menjawab, saya memang bukan orang yang menampakkan kekesalan saya di muka umum, tetapi kekesalan saya, saya pindahkan ke tempat lain yang lebih aman. Kemana itu? Ke makanan. Untuk memperjelasnya, teman saya itu meluapkan emosinya ke makanan. Sejak saat itu saya tahu, ketika dia sedang marah, untuk menenangkannya harus siapkan makanan hehehe.
Ada juga teman saya yang diberi banyak tugas. Belum urusan kampus yang bergulat dengan tugas, belum selesai itu sudah ada panggilan dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa), belum lagi kegiatan diluar kampus. Semua pikiran-pikiran itu berkumpul di satu kepala yang lumayan kecil. Hingga puncak dari segala emosinya itu akhirnya tumpah dengan cara meneteskan air mata. Dengan semua beban yang dia pendam sendiri. Memang ada karekter manusia yang seperti itu, memendam emosinya sendiri. Satu pelajaran yang saya petik dari situ adalah bagaimana kita sebagai makhluk sosial bisa berinteraksi dan berbagi sesama makhluk sosial. Kita bukan manusia individu yang bisa berbuat semua sendiri, sedikit banyaknya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Masih dengan kasus yang sama. Masalah di organisasi, kuliah berantakan, dan bertengkar dengan teman. Saya pernah jumpai teman yang cukup aneh tapi normal. Bagaimana dia bisa mengontrol emosinya yaitu dengan pergi jalan sendirian. Entah itu dengan naik becak ke alun-alun atau naik angkot sampai ke terminal setelah itu balik lagi kerumah. Fenomena yang ada saya lihat setiap hari pada dirinya. Mengekspresikan kekesalan dengan pergi berjalan-jalan sendiri dan tak satu temannya pun yang tahu sampai dia pulang dan menceritakannya.
Dari semua cerita diatas, satu yang menjadi kekaguman saya pada mereka bahwa mereka adalah manusia biasa yang tidak terlepas dari rasa benci, sakit hati, dan emosi. Tapi mereka dapat mengontrolnya dengan baik atau mengalihkan rasa kesal mereka ke tempat yang tidak ada satu pun orang yang merasa dirugikan. Apresiasi yang sangat tinggi pula saya kepada teman-teman saya karena tidak berbuat yang 'tidak-tidak' seperti yang biasa dilakukan anak muda zaman sekarang seperti ikut geng motor, ricuh dijalan, dan bentrok atau tawuran.
0 comments:
Post a Comment