Saturday 9 November 2013

Cerita Sore Hari



Senja sore hari di bawah payung kota Malang mengingatkanku akan sebuah janji-janji yang keluar dari mulut ini. Janji-janji kepada orang yang meliharkan dan merawatku akan sebuah perjuangan dan cita-cita. Mungkin sudah menangis melihatku seperti ini. Aku yang selalu banyak omong, berbasa-basi depannya, atau mungkin membohongi kedua orang itu. 

Senja saat ini menyandarkanku pada dinding batu tempatku beristirahat. Aku menutup mata. Terjaga sejenak dan mengingat kembali omong kosong yang telah ku lakukan. Sejenak aku berpikir untuk pulang ke kampung halaman dan menghilang dari jejak-jejak perantauan ini. Tidak. Itu bukan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah ini. Pulang bukanlah jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah ini. 

Aku kemudian keluar ke dunia yang tak kenal logika. Melihat kiri-kanan, yang membuatku seperti orang tolol. Kulihat kursi taman yang berada di pojokan. Aku duduk sambil menyilangkan kaki dan bersender pada kursi itu. 

Tidak ada aktifitas yang berarti terjadi di hadapanku. Melihat sepasang kekasih bergandengan tangan atau anak kecil yang bermain bersama orang tuanya di taman ini. Setiap orang sepertinya sibuk dengan kesenangan masing-masing dan melupakan urusan yang lain.

Kulihat danau dengan airnya yang tenang bersama dengan angsa-angsa menari diatasnya. Mengingatkanku akan harmonisasi keluarga yang dipenuhi dengan kehangatan. Diselimuti dengan rasa kekeluargaan yang kuat. 

Awal perjalananku, melayang diatas laut yang menyambung Jawa dan Sulawesi, sangat bersemangat mencari ilmu sampai ke seberang pulau. Mencari jatidiri. Dan mencari arti kehidupan. Tapi seiring dengan berjalannya detik jam dan bergantinya hari, semua yang kujalani ini seperti sia-sia. Bukannya tanpa sebab, aku mengingkari sebuah komitmen awalku sebelum ini. Belajar dengan tekun. Tapi sudah menjadi takdir alam seperti ini.

Menyesal. Mungkin itu kata yang paling tepat menggambarkan sketsa yang ada di kepalaku saat ini. Ujian Tengah Semester hari ini aku tidak masuk. Aku sekarang menjadi seolah menjadi anak yang paling tidak berguna. Hanya membuang uang yang diberikannya setiap bulan. Mengantarku terhadap rasa bersalah yang sangat hebat.

Ujian siang hari masih bisa aku layani. Meskipun dengan terseret-seret. Tapi mungkin gaya gravitasi di tempat tidurku sangat kuat sehingga sulit untuk mengangkatku bahkan ke kamar mandi yang berada tepat di samping kamarku.

Kemarin aku sudah mendapat lampu kuning. Peringatan yang menandakan aku masih disayang olehnya. Peringatan yang kapan saja bisa langsung melemparkanku ke kampung halaman. Masih adakah kesempatan yang sudah diberikan olehku terjadi lagi tahun ini??? Hanya mereka yang tahu jawabannya. Orang yang telah bersusah payah mengirimku kesini.

Jika berpikir sejenak, sangat besar besar beban yang dirasakan pemuda ini. Seakan alam menuntutku untuk menjadi manusia yang produktif. Dan dunia yang bekerja keras setiap hari sangat kontras dengan karakterku yang malas. Malas seakan sudah menjadi penyakit dalam diriku. Sempat terbersit di benakku akan melewati lorong waktu dan menjadi anak kecil lagi. Anak yang belum tahu kerasnya dunia. Anak yang belum mempunyai tanggungjawab yang besar. Dan anak yang hanya ingin bermain. 

Bermain sepak bola di lapangan bersama teman-teman masa kecilku. Menggiring dan menggocek bola dengan senangnya sampai membobol gawang lawan. Atau mungkin bermain main layang-layang di padang rumput yang terhampar luas yang tepat berada di belakang rumahku.

Cukup. Berhentilah mengigau. Jangan berpikir untuk menjadi anak-anak lagi. Aku sudah dewasa. Ketika aku berpikir untuk kembali ke masa kanakanku, itu tidak mungkin. Tetapi jika tetap terus memaksa, aku akan menjadi seorang pemuda yang bersifat kekanak-kanakan.

Melihat teman-teman kuliahku yang lain, seolah dikejar oleh bom waktu yang siap meledak kapan saja jika tidak lulus dengan waktu normal. 


Saat melihat teman-temanku berjuang untuk dirinya, aku seperti hanya seekor siput yang berjalan lamban dan hanya bisa melihati mereka semua bekerja. 


Ibuku pernah mengatakan, "Tidak ada kata terlambat untuk belajar". Yang diejawantahkan itu terlambat belajar hanyalah orang-orang yang sudah mati. Ibuku pun saat ini masih belajar. Entah belajar tentang apa. Pertanyaannya sekarang bukan masalah belajarnya, tapi lulus dari kapus. Sampai kapan aku menjadi budak intelektual. Itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh aku sendiri. Orang yang menjalaninya.


Sayangnya, tidak ada orang yang mau terlalu mengerti dengan keadaanku seperti ini. 


Senja akan segera berlalu. Semoga dilema saat ini menjadikanku manusia yang terus bisa berpikir.



Malang, 9 November 2013 


 

0 comments:

Post a Comment