Jadi, tujuan utama kita mngkonsumsi media per sebenarnya adalah untuk mendapat informasi dan pengetahuan yang luas dengan cepat dan aktual. Kita tidak perlu lagi keluar negeri untuk mengetahui bagaimana kabar bagaimana pemilu Amerika yang berjalan disana atau keluar kota untuk melihat keindahan-keindahan alamnya. Cukup dengan mengkonsumsi media kita sudah tahu segalanya.
Media pers, baik itu
media visual, media cetak, dan media elektronik sangat mempengaruhi
tatanan-tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kita bisa melihat
fenomena-fenomena sosial yang ada di Indonesia
bahwa pers bisa dikatakan adalah obat yang paling ampuh untuk dijadikan
sebagai alat doktrinisasi. Seperti contoh, belum lama ini ada satu siaran di
salah satu stasiun TV swasta yang menayangkan acara sahur pada bulan puasa.
Kemudian untuk menarik traffic atau
penonton untuk menyaksikan acara tersebut, maka mereka merekayasa acara
tersebut dengan membagi-bagikan uang disetiap episodenya. Nah, setelah mendapat
banyak penonton dan menjadikan tayangan tersebut sebagai acara dengan rating tertinggi, mereka kemudian
mengubah konsep acara dengan berjoget bersama. Yang kemudian diikuti oleh orang
yang menonton acara tersebut. Akhirnya dengan modal para penikmat goyangan dan
penonton yang terus menyaksikan acara tersebut semakin besar dan membuat penikmat
tayangan TV tersebut semakin luas jangkauannya, mulai dari orang dewasa sampai
adikku pun ikut menirukan goyangan yang ada di acara tersebut.
Dengan modal sudah berhasil
mempengaruhi banyak masyarakat membuat media pers sudah melenceng jauh dari
tujuan utamanya yaitu mendidik rakyat Indonesia dengan berita-berita aktualnya
dan sebagai media yang informatif.
Saya kebetulan sudah menonton film "Dibalik Frekuensi", dimana ternyata sudah banyak terjadi kebohongan-kebohongan media yang dinikmati masyarakat Indonesia belakangan ini. Acara-acara di TV di setting sedemikian rupa untuk menarik minat penonton dan bertolak belakang sebagai sumber informasi masyarakat.
Contoh lain yang menunjukkan Pers hari ini tidak lagi Independen atau memberikan informasi sesuai pesanan dan tidak lagi mengatakan kebenaran adalah saat dimana berita seorang bapak tua yang menjadi korban lumpur lapindo di daerah Jawa Timur. Saat itu sang bapak telah kehilangan rumah serta harta benda lainnya yang dimakan lumpur. Bapak ini pun kemudian meminta sang orang-orang atau petinggi-petinggi negara yang bertanggungjawab atas musibah yang dihadapinya untuk memperhatikan masyarakat-masyarakat yang terkena lumpur seperti dirinya. Lain daripada yang lain, bentuk protes bapak ini dengan berjalan kaki dari daerah asalnya, Jawa Timur, ke Jakarta. Semua orang kemudian tergugah hatinya karena melihat perjuangan seseorang untuk didengar aspirasinya oleh pejabat-pejabat negara yang secara langsung bertanggungjawab atas kejadian itu. Tetapi beda pohon semangka dan pohon melon. Setelah membaca beberapa artikel dan sumber referensi terkait aksi seorang bapak yang berjalan dari Jawa Timur ke Jakarta untuk mengadu tentang permasalahan yang dideritanya dan didengar aspirasinya ternyata dibayar sangat murah untuk mengubah statment-nya. Yang awalnya berjalan karena ingin betul-betul menyampaikan pendapatnya ternyata dibayar sangat murah untuk mengubah niat awalnya yang baik. Bagi Pers dan media
di Indonesia, suatu kebenaran mungkin hanya dibayar murah.
Saya yang semula meng-imani dan meng-amini aksi heroik sang bapak, justru sekarang sangat kontras dengan kepercayaan saya terhadap semua tayangan-tayangan televisi. Berita yang sebenarnya memberikan informasi dan menyampaikan kebenaran justru merekayasa kebenaran menjadi kesalahan. Soe Hok Gie dalam bukunya pernah mengatakan, manusia yang baik adalah manusia yang mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan.
Kebebasan pers di Indonesia hari ini dewasa ini memang patut kita banggakan. Tetapi kebanggaan itu jangan membawa kita ke kebebasan yang terlalu bebas. Bebas tanpa batas adalah anarki, anarki sama saja berlawanan dengan tata tertib, padahal masyarakat yang paling sederhana pun memiliki tata tertib tersendirinya masing-masing. Menurut penulis, peran pemerintah saat ini harus membuat regulasi terhadap kepemilikan media di Indonesia. Kebebasan yang terlalu mudah dalam kepemilikan media telah membuat adanya penyakit sosial yaitu homogenisasi berita dan politisasi media. Kepemilikan media pada satu orang telah membuat opini yang berkembang dalam masyarakat mudah sekali dimainkan oleh media yang dimiliki oleh satu orang pemilik modal.
Jangan Selalu Berfikir Negatif
Di sebuah warung kopi dekat
kampus, saya bertemu teman kecil yang sudah terpisah sejak SD. Kemudian kami
berbincang masalah pers yang kemudian menjadi hobinya sebagai reporter. Dia
berbicara panjang lebar tentang pers dan memberikan beberapa contoh-contoh
tentang ilmu jurnalistiknya.
Terkadang memang orang yang sudah terbawa suasana akan kebohongan-kebohongsn pers akan kembali sulit mempercayai informasi-informasi dari berbagai media. Seperti contoh diatas, pers seolah-olah hanya menjadi alat dari seseorang atau segelintir orang untuk memperoleh sesuatu dari hasil tontonan masyarakat. Tetapi mungkin tidak semua media sekejam dan sejahanam itu dalam menyampaikan beritanya. Pers tidak melulu menjadikan tayangannya sebagai media penyambung yang kusut untuk Indonesia. Sebagai contoh, kita bisa melihat bencana alam yang terjadi di gunung Sinabung daerah Sumatera. Bencana alam yang memakan beberapa korban jiwa atas terjadinya letusan gunung berapi membuat masyarakat sekitar menjadi kalang kabut. Dimana peran pers disini? Kalau kita analogikan, peranan pers sebenarnya ada 2, yaitu, sebagai fungsional dan sosial. Jika kemudian peran sosial yang diambil, maka para wartawan dan reporter akan menolong korban bencana letusan gunung Sinabung sibisa dan semampunya. Tapi jika mengambil peran fungsionalnya, para pemburu berita ini pasti akan melaporkan bencana tersebut dan mem-publish berita yang mereka dapat. Apa jadinya? Para donatur dari berbagai daerah untuk menolong korban mereka yang membutuhkan bantuan. Bayangkan jika para wartawan dan reporter hanya mengambil peran sosialnya, apa yang mereka bisa lakukan untuk menolong korban. Sama seperti analogi kebakaran. Jika kita melihat sebuah rumah terbakar, apa yang akan kita lakukan? mengeluarkan peran sosial kita dengan menyiram air ke rumah yang terbakar atau berteriak meminta tolong kepada tetangga untuk menyiram rumah yang terbakar tadi. Jelas semua orang akan memilih mem-publish berita dulu baru kemudian mengumpulkan tenaga untuk mangatasi sebuah masalah lalu dikerjakan bersama. Seperti itulah seorang wartawan dan atau reporter dalam menjalankan tugasnya. Jadi, kita jangan terus berpandangan negatif terhadap media dan pers. Tetapi kita juga tidak boleh terlalu mempercayai informasi dari satu sumber. Cari sebanyak-banyaknya sumber referensi untuk menguatkan opini kita.
Jadi, peranan pers dalam menjaga
kepentingan negara memang sangat dibutuhkan guna menyeimbangkan kondisi-kondisi
yang ada di masyarakat Indonesia.
0 comments:
Post a Comment